Keseruan Coffee Talk di Java Coffee Culture Surabaya 2024: Saatnya Kopi Nusantara Sukses di Pasar Global

Kalau sudah ngomongin kopi, rasanya tak akan ada habisnya. Bukan cuma nikmat disesap, tetapi juga menjadi teman sejati di kala sendiri. Entah menghabiskan waktu bersama keluarga atau pendongkrak mood bekerja, kopi adalah solusi jitu.

Pamor kopi semakin moncer saat memasuki third wave atau gelombang ketiga perkopian. Pada era ini, yang sekarang kita alami, publik punya sikap yang jelas terhadap kopi. Kata kuncinya adalah apresiasi. Konsumen bukan sekadar meminum secangkir kopi, tetapi tergerak atau digerakkan untuk lebih mengenal kopi secara lebih mendalam.

Mulai dari varian kopi, di mana dan bagaimana kopi itu ditanam, profil sangrai, karakter rasa, aroma, hingga teknik menyeduh, dan “cerita” yang mengiringi perjalanan kopi itu -- semuanya jadi menarik di benak pelanggan berkat tangan dingin seorang barista atau pramukopi. Story itulah yang memperkuat kopi sebagai komoditas yang kian digemari di era modern seperti sekarang.  

Coffee Talk di Java Coffee Culture Surabaya angkat potensi kopi Nusantara (dok. pri)
 

Java Coffee Culture dan Kampung Wisata Sejarah Peneleh

Hal ini yang menjadi salah satu topik bahasan dalam Coffee Talk di Hotel Double Tree Surabaya, Sabtu 6 Juli 2024 lalu. Talk show yang digelar oleh Bank Indonesia Jawa Timur dengan dukungan pemerintah kota setempat patut diapresiasi karena menjadi pengingat sekaligus pemabngkit optimisme bahwa kopi Nusantara punya daya tarik luar biasa dan oleh karena itu layak diekspor ke seluruh dunia.

Coffee Talk tersebut jadi bagian dari Java Coffee Culture (JCC) yang dihelat bersamaan dengan Festival Peneleh 2024. Dua pergelaran ini menandai kolaborasi banyak pihak untuk memperkenalkan nilai, sejarah, dan filosofi kopi Jawa serta mempromosikan Kampung Wisata Sejarah Peneleh. 

Mengapa kopi Jawa penting? Karena selama ini Pulau Jawa dikenal sebagai sentra penghasil kopi dengan produksi hingga 97,9 ribu ton atau setara 13% dari kapasitas produksi kopi nasional. Angka yang sangat fantastis kan?

Kopi-kopi yang ditanam dan dipanen di Jawa ini lantas dikirim ke sejumlah negara sebagai komoditas ekspor antara lain Mesir, Italia, Jepang, Uni Emirat Arab, dan Malaysia. Yang menarik, 86% dari biji kopi Jawa yang diekspor ternyata didominasi oleh kopi dari Jawa Timur. Barangkali inilah sebab BI Jatim memilih Surabaya sebagai tuan rumah JCC.

Kopi Robusta asal Jember, potensial diekspor ke mancanegara. (dok. belalangcerewet.com)

Surabaya juga punya kawasan Peneleh, yakni perkampungan dengan daya tarik historis yang perlu dikembangkan menjadi kawasan wisata sejarah. Salah satu daya tarik itu adalah keberadaan rumah HOS Tjokroaminoto yang dulu pernah menjadi tempat tinggal Bung Karno semasa beliau remaja.

Bank Indonesia Jatim dan Pemkot Surabaya sengaja mengadakan festival ini untuk kembali mengingat perjuangan tokoh-tokoh sejarah masa lalu. Harapan besarnya: kopi dan Peneleh bisa membangun ekonomi kreatif berkelanjutan di Jawa Timur. Coffee Talk dan showcase UMKM kopi bisa mendorong lahirnya diversifikasi produk olahan kopi Jawa agar kian dikenal luas hingga dunia internasional yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani lokal.

Kopi dan komunitas

Untuk bisa mencapai hal itu, mula-mula kita wajib memahami pasar yang ingin dibidik. Karena beda pasar, beda pula strateginya. Itu yang disampaikan Muhammad Aga, atau akrab disapa Kang Aga, sang barista kondang yang juga seorang Q-grader dengan banyak prestasi. 

Memang kopi sekarang bukan sekadar minuman, melainkan punya kekuatan untuk mempersatukan orang dengan berbagai latar -- termasuk perbedaan suku atau pekerjaan. Karena potensinya dalam membangun koneksi inilah, maka Java Coffee Culture tahun ini mengangkat tema "Sinergi dalam Secangkir Kopi, Pengupas Potensi Ekonomi & Harmoni Bangsa". 

Kopi mampu menciptakan perasaan kolektif sehingga penting bagi kita untuk mendekati komunitas jika ingin serius menggeluti usaha kopi. Bukan cuma mampu memantik percakapan, kopi juga bisa menenangkan dan memicu kreativitas dalam berkarya.

Percuma punya kopi enak tapi tak punya pasar. Komunitas bisa menjadi basis pelanggan yang loyal asalkan kita punya branding yang kuat dan produk yang enak tentu saja. Lebih dulu harus ditentukan apakah kita akan menggarap pasar kopi specialty grade ataukah commercial grade. 

Specialty grade menyasar pasar yang spesific dengan pengalaman dan eksplorasi citarasa yang kaya. Konsekuensinya, harga jadi lebih mahal karena stoknya pun tak banyak. Aga meragukan kalau ada orang yang mengatakan bahwa kopi enak tersedia banyak. Itu nyaris mustahil, karena kuantitas tak bisa disatukan dengan kualitas.

Muhammad Aga menuturkan potensi bisnis kopi di dunia. (Dok. pri)

Berbeda dengan pasar komersial yang harganya lebih terjangkau karena racikan konsistenlah yang dicari konsumen segmen ini.  Dengan cup quality di bawah 80 poin, kopi untuk segmen komersial memang membidik pasar luas dan produksinya lebih cepat dan massal.

Aga mengabarkan bahwa jumlah konsumen dunia yang menghendaki kopi premium semakin meningkat. Yakni kopi yang high-quality dan cita rasanya unik. Apalagi kopi single-origin Indonesia menawarkan profil rasa yang khas sesuai kondisi geografis tertentu, yang kian memikat para penggila kopi dunia karena menginginkan pengalaman minum kopi yang lebih personal dan autentik. 

Dengan branding yang kuat, visual yang memikat, dan pemasaran cerdas, maka pasokan kopi yang terbatas dengan pemrosesan eksperimental justru memicu naiknya harga di pasar dunia. Potensi kopi Nusantara bisa diarahkan ke sana.

Sebagai pernyataan pamungkas, Aga mengingatkan hal berikut. 

There is no BAD coffee, only different market

Ini menunjukkan bahwa kopi jenis apa pun, dengan teknik pemrosesan bagaimana pun, pasar tetap terbuka karena konsumennya berbeda. Lagi-lagi, dengan rasa unik dan kuatnya branding ditambah digital presence yang solid, maka potensi untuk diterima konsumen selalu ada. 

Cina dan India siap "dijajah" kopi Nusantara

Mewakili kalangan pengusaha, berbicara dalam Coffee Talk adalah Roy N. Mandey. Ketua Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) ini sepakat dengan Aga bahwa minum kopi saat ini bukan sekadar jualan produk, melainkan menawarkan pengalaman. Experience uniklah yang diburu konsumen.

Roy ketua Aprindo membeberkan potensi kopi Nusantara di pasar internasional

Roy menegaskan memang ada tantangan bisnis kopi global saat ini, misalnya pengaruh geopolitik dunia dan perubahan iklim yang tak bisa dihindari. Pola penanaman dan pengolahan akhirnya menyesuaikan tuntutan zaman. Belum lagi adanya perubahan pola konsumen dan ancaman inflasi. Semua butuh penanganan.

Namun, ternyata ada pasar potensial yang bisa disasar sebagai tujuan ekspor, yakni Cina dan India. Cina punya pangsa 1,1 miliar dolar yang bisa dibidik untuk menerima ekspor kopi dari Indonesia. Sedangkan India potensinya lebih besar lagi, mencapai 46% atau 773 juta dolar yang terus meningkat berkat kebijakan keuangan internal.

Pasar kopi global diperkirakan akan tumbuh dari USD 124,16 miliar pada tahun 2023 menjadi USD174,71 miliar pada tahun 2030. Yang perlu diingat dalam bisnis kopi adalah sumber daya yang beretika dan berkelanjutan. Pasar kopi siap minum (dalam kemasan) semakin terbuka, terbuka dengan meningkatnya permintaan konsumen akan es kopi atau minuman dingin.

Kopi Nusantara punya peran krusial dalam perekonomian Indonesia, dengan nilai ekspor 1.187,2 juta dolar dan nilai impor sebesar 33,6 juta dolar AS. Artinya, ada surplus bagi Indonesia dari komoditas kopi 1.153,6 juta dolar AS. Ini menunjukkan keseimbangan perdagangan yang positif dan wajib disapresiasi lantas dimanfaatkan sebagai peluang.

UMKM butuh dana lebih 

Sedangkan Wildan Mustofa yang merupakan owner CV Frinsa, UMKM asal Bandung, menegaskan komitmennya untuk terus menggeluti bisnis kopi meskipun ada beberapa tantangan. Tantangan yang paling mendesak sebagaimana ia rasakan adalah kurangnya pembiayaan dari bank. Dengan masa panen yang singkat, sekitar dua bulan, perputaran uang butuh cepat sehingga dana harus mencukupi.

Wildan menuturkan kendala bisnis kopi

"Kalau bisa kopi pun jadi jaminan pinjaman," sergahnya serius. Ia beralasan bahwa dana yang diperlukan untuk mengolah kopi hingga ekspor sangat besar, dan berharap agar ada sumber pendanaan lain tidak melulu mengandalkan bank yang plafonnya terbatas.

Ia juga menyoroti rendahnya produktivitas lahan kopi di Indonesia dibandingkan negara-negara pesaing utama dunia, yaitu Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Brazil telah menggunakan teknologi canggih dalam penanaman dan pemanenan kopi. Adapun Kolombia menerapkan kebijakan replanting secara massal di seluruh negerinya yang berdampak pada naiknya produksi kopi.

Selain itu, masih ada isu lingkungan yakni residu pestisida pada kopi panenan Indonesia. Kasus ini pernah terjadi pada kopi yang diekspor ke Jepang. Kasus yang terjadi tahun 2009-2012 itu menguak adanya kandungan carbaryl, yakni zat kimia sebagai insektisida, dalam kopi yang dikirim ke Negeri Matahari Terbit.

Kalau ingin sukses menembus pasar ekspor dunia, kopi Nusantara harus dipastikan berkualitas. Bukan hanya dari sisi pemanfaatkan lahan dan pengolahan biji kopi, tetapi juga dukungan kebijakan secara nasional. Ini butuh komitmen serius berbagai pihak yang kompeten, termasuk Bank Indonesia yang punya sumber daya memadai. 

Dan saya sebagai bloger minimal berkontbusi untuk mengabarkan potensi kopi kita di kancah dunia. Semoga Java Coffee Culture 2025 akan menyibak peluang lebih besar demi kesejahteraan petani kopi Indonesia seluruhnya. 

Post a Comment

0 Comments