Punya Banyak Usaha, Tapi Enggak Punya Otak

Ketika kasus KDRT menimpa seorang selebgram mendadak viral, warganet langsung geram. Semua kompak mengecam tanpa komando. Komentar bernada kutukan membanjiri akun-akun berita di media sosial, terutama Instagram dan TikTok. Sepotong video yang dinilai biadab itu pun diserang komentar muak terhadap suami yang melakukan kekerasan. 

Pelaku KDRT memang tak punya otak! (Foto: pexels/SHVETS production)

 

Di sebuah grup WhatsApp komunitas, isu hangat ini menjadi kian panas saat sengaja diangkat sebagai topik bahasan suatu malam. Seorang member mengatakan bahwa suami jahat itu konon memiliki banyak usaha. 

Beraninya sama yang lemah

Terhadap kabar itu, saya spontan merespons, pendek dan menukik: 

"Ya, punya banyak usaha, tapi enggak punya otak!" 

Tanggapan saya mungkin keras, tapi itu kata yang tepat untuk menyindir suami yang otaknya korslet. Betapa tidak, dia yang disinyalir berselingkuh malah begitu beringas memukuli istri yang tak berdaya. 

Enggak ada kata yang cocok menggambarkan tindakannya selain keji sekaligus pengecut. Jelas punya otak, tapi tak bisa mikir. Kalau otaknya betul berfungsi, dia pastilah mencari lawan yang seimbang. Alih-alih istri lemah, dia bisa bertanding di ring tinju atau MMA. 

Sayangnya, dia penakut dan cukup pengecut untuk berlaga layaknya seorang pria. Memilih lawan yang sebanding, yang bisa melancarkan serangan balik dengan taktik dan kalkulasi.

Boleh jadi, dia sudah menimbang bahwa kalau mencari lawan sepadan di luar, dia pasti bakalan keok. Jangankan menyerang, kesempatan untuk menghindar pun rasanya setipis kulit bawang.

Mengapa korban KDRT enggan melapor?

Tak lama setelah potongan video itu viral, komunitas bloger Kompasiana Jawa Timur menghelat Instagram Live yang mengangkat fenomena KDRT di tengah masyarakat, lebih-lebih yang menimpa perempuan sebagai kaum rentan atau terpinggirkan.


IG Live bergizi bersama Bu Zaitun Taher.
 


Begitu turun dari kereta komuter yang bertolak dari Surabaya ke Lamongan, saya langsung pantengin IG Live yang dimulai sejak pukul 19.00 WIB. Diskusi dan sharing berjalan gayeng, dipandu Mbak Dian bloger Sidoarjo yang mendampingi narasumber, yakni seorang advokat sekaligus pengurus bidang PPA (perlindungan perempuan dan anak) DPC PERADI Surabaya.

Dari Zaitun Taher, nama advokat itu, saya bisa menyarikan setidaknya tiga alasan mengapa perempuan korban KDRT enggan melayangkan laporan kepada pihak berwajib. Dan ini penting untuk dikabarkan sebagai peringatan agar tidak terulang.

Alasan pertama, perempuan diliputi ketakutan. Dia merasa khawatir karena mendapat intimidasi dan ancaman dari pasangan yang berpotensi mengulang tindakan kekerasan tersebut. 

Bu Zaitun mencontohkan, suatu kali ada suami yang mengancam korban KDRT,

"Kalau kamu berani macam-macam, berani lapor atau cerita keluargamu, nanti aku giniin. Sekarang cuma kamu yang kena, nanti keluargamu ikut kena juga. Aku hancurin keluargamu!"

Bayangkan jika ucapan seperti itu disemburkan oleh suami manipulatif secara terus-menerus, maka istri lama-lama akan kehilangan jati dirinya. Akan runtuh kepercayaan dirinya, tergerogoti semangat hidupnya. 

Alasan kedua korban KDRT enggan membuat laporan adalah sebab ia tak punya support system yang bisa diandalkan. Dia merasa terkucil dan terhimpit dalam dunia yang membuatnya kerdil. Trauma membuat dirinya sulit bahkan sekadar mencurahkan isi hati.

Ada kasus di mana seorang korban mengadu kepada keluarga besarnya. Namun  bukan dukungan yang ia dapatkan, melainkan anjuran agar ia bersabar mengahadapi perilaku suami lantaran KDRT itu bagian dari cobaan dalam rumah tangga.

Beranilah speak up untuk mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga. (Dok pexels)


Bu Zaitun menangkis, "Oh tidak! Itu salah, itu sudah tindakan kriminal! Termasuk tindakan pidana," katanya tegas bahwa KDRT jangan sampai dinormalisasi sebagai sebentuk ujian dalam keluarga

Alasan terakhir, korban KDRT belum memiliki kemandirian secara ekonomi. Perempuan enggan mengungkap KDRT suaminya karena khawatir bahwa sokongan finansial akan diputus jika mereka sampai bercerai. Belum lagi kalau sudah punya anak, maka perceraian bisa menghadirkan krisis baru karena anak biasanya ikut ibunya.

Perlunya bangun kemandirian

Bu Zaitun tak segan menganjurkan agar kaum istri mulai membangun kemandirian baik secara emosi dan terutama secara ekonomi. Dia percaya perempuan masa kini semakin cerdas, sudah pandai cara untuk survive dengan memanfaatkan berbagai peluang digital. Banyak kesempatan mendulang rupiah tanpa harus meninggalkan rumah.

Namun, semuanya tentu butuh proses. Punya penghasilan sendiri tak bisa diwujudkan dalam semalam. Yang tak kalah penting adalah memantapkan diri secara emosional. Sebab sebagaimana disinggung oleh host malam itu, kadang perempuan tetap tak berani mengambil keputusan--termasuk melapor--walaupun dia sudah punya penghasilan sendiri.

Para korban KDRT itu mengalami krisis kepercayaan diri, sengaja dikerdilkan jiwanya oleh suami yang tak henti melancarkan intimidasi dan manipulasi sehingga perempuan diliputi trauma mendalam dan kesulitan berpikir jernih.

Kendati begitu, satu hal yang pasti: perempuan adalah makhluk yang taktis. Mereka bisa mendayagunakan otak dan berbagai keterampilan hidup untuk meraup cuan atau memutuskan untuk hidup sendiri dalam kondisi merdeka. Sebab mereka punya otak yang berfungsi optimal, tidak seperti pelaku KDRT yang otaknya terbelakang atau korslet walau faktanya mungkin punya banyak usaha. 


Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI

Post a Comment

0 Comments